
Pada jaman entahlah, hiduplah seorang gadis bernama Nona di sebuah desa kecil di kaki meja. Seperti saudara-saudara perempuannya yang lain, bahkan ibu dan bibi-bibinya semua, Nona berwajah bulat dengan kulit putih licin seperti porselen.
Tunggu, wajahnya memang dari porselen.
Dibandingkan dengan tubuhnya yang sedikit kurus, kepalanya tampak besar dan bulat seperti sebuah cangkir.
Tunggu, kepalanya memang berbentuk cangkir -dengan satu pegangan yang bentuknya seperti telinga, dan ada cekungan di atas kepalanya yang bisa menampung sekitar 120ml air.
Seluruh anggota keluarganya juga seperti itu (tapi kepala ibunya bisa menampung 200ml air, dan ada tutupnya sehingga tidak mudah tumpah).
Karena tidak dilengkapi tutup, Nona harus berjalan dengan hati-hati setiap saat.
"Nanti juga kamu akan menemukan tutupmu!" hibur Ibunya setiap kali Nona cemberut dan malas kemana-mana karena takut isi di dalam kepalanya tercecer sia-sia. "Sekarang pergilah bermain dengan sepupu-sepupumu! Masak kamu tidak pernah ikut berkumpul dengan mereka sih." Ibu mendorongnya perlahan.
Nona melangkah masuk ke kamarnya dan meraih sebuah buku yang terlihat pertama kali olehnya. Ia suka sekali membaca buku, semua jenis ia baca, termasuk buku daftar belanja milik Ibunya. Setelah menyelipkan buku di sela-sela roknya yang lebar dan tebal, ia berjalan keluar rumah dengan langkah perlahan.
"Selamat bersenang-senang!" seru Ibunya dengan wajah ceria, lega karena Nona akhirnya mau keluar rumah. Nona hanya memiringkan kepalanya sedikit, takut tumpah, dan terus berjalan.
Nona berjalan terus hingga sampai di pinggir desa, tempat sepupu-sepupunya yang berisik bermain bersama. Mereka bahkan tidak peduli bila isi dikepala mereka tumpah kemana-mana hingga tersisa beberapa mili.
Gadis-gadis berkepala cangkir melambai-lambaikan tangan dengan girang melihat kedatangan Nona. Tapi Nona terus berjalan, melewati mereka yang kebingungan memanggil-manggil namanya, Nona berjalan sampai keluar desa.
Nona terus berjalan menaiki bukit, sesekali memegangi kepalanya agar tidak tumpah.
Nona menghentikan langkahnya ketika ia mendapati sebuah benda bundar pipih dan licin. Dilihatnya sekeliling. Sepi. Angin bertiup semilir dan -amboi indahnya pemandangan di tempat itu!
Nona mengalihkan pandangannya pada benda berwarna putih serupa dirinya itu. Bahannya sama dengan wajahku..-ia meraba benda itu, kemudian membandingkan dengan wajahnya. Perlahan Nona melangkahkan kakinya ke atas benda itu, lalu duduk dengan hati-hati. Rasanya nyaman sekali. Ia mengeluarkan buku dari balik roknya yang kini melembung dan tampak seperti labu raksasa, dan mulai membaca.
"Hei, nona, apa isinya?" tiba-tiba muncul sebuah suara. Nona terperanjat. Seekor tikus dengan sebuah botol kecil sedang menatapnya, menanti jawaban.
"Eh, i-ini, tidak tahu, baru halaman pertama. Kata pengantar." Nona membalik bukunya, mencari judul di bagian sampul, tetapi tidak ada tulisan apa-apa disitu.
"Bukaaan. Kepalamu, apa isinya? Boleh dong, minta beberapa tetes. Semoga teh, nanti sore ada arisan di rumahku."
"Heh?" Nona bingung, ia pura-pura membaca bukunya.
"Hei, nona, pelit banget sih!" si tikus mendecak kesal.
Nona mengangkat wajahnya, memelototi si tikus, "bagaimana kau tahu namaku?"
"Memang siapa namamu?"
"Nona!"
"Oh. Asal tebak saja." si tikus melengos, malas meluruskan kesalahpahaman itu. "Ayo, bagi minumnya dong!"
Tapi Nona tidak menanggapi dan kembali sibuk dengan bukunya. Ternyata buku memasak.
"Ya ampun wanginyaaa!" sebuah suara lain, kali ini dari sisi berlawanan dengan tempat si tikus berdiri.
Nona menoleh kesal ke asal suara. Seekor binatang yang tidak jelas bentuknya melompat-lompat timbul-hilang-timbul-hilang dari sebuah lubang. Lompatan terakhir cukup tinggi sehingga binatang itu mendarat juga di atas rumput. Seekor kelinci.
"Wangi kopi. Boleh dong dibagi!" Si kelinci tersenyum merayu. Nona tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi keduanya sudah mengganggu acara membacanya.
"Pergi kalian!" hardiknya. Si tikus mendecit kaget. Si kelinci mundur beberapa langkah ke belakang, dan hampir masuk lagi ke dalam lubang.
"Yang satu ini pelit, ya!" seru si tikus pada kelinci.
"Ember!"
"Tapi mukanya mirip sekali sama yang dulu itu..."
"Nah cetakannya sama, kaleee!" Mereka asyik ngobrol sendiri di hadapan Nona.
"Ngomong-ngomong," si kelinci mendehem dibuat-buat dan kembali menghampiri Nona, "kamu duduk di atas lepekku lho!"
"Lepek apa?" tanya Nona dengan ketus.
"Itu, benda yang sedang kau duduki yang bahannya sama dengan wajahmu. Itu lepek -tatakan. Itu pu-nya-ku!" si kelinci mengeja kata terakhir.
"Aku bahkan punya jalinan sedotan plastik yang bisa kau pakai untuk meminum isi kepalamu sendiri -tuh, kusimpan di dalam lubangku. Tetapi tentu saja tidak gratis!"
Lalu si kelinci mulai menjelaskan tentang lepek yang diduduki Nona, dan apa fungsinya. Ia mengambil jalinan sedotan yang ia sebutkan, dan menjelaskan juga apa fungsinya.
"Mungkin kamu tidak tahu karena kamu masih terlalu muda, sebenarnya kamu bisa meminum isi di kepalamu. Isinya bisa bermacam-macam, tapi kalau boleh kutebak hari ini kau membawa kopi. Aku hafal wanginya."
"Ah, sial, bukan teh ya? Tapi ngga papa deh, daripada air putih..." si tikus kembali bergabung setelah sebelumnya hanya duduk di agak jauh dari mereka, membiarkan si kelinci yang menjelaskan.
"Kamu dari keluarga Cingkir kan?" tanya si kelinci.
"Bagaimana kau tahu?" kali ini Nona mulai tertarik dengan dua makhluk di hadapannya dan hal-hal baru yang mereka ceritakan.
"Anggap saja aku kenal nenekmu." si kelinci memegang bahu si tikus dan mengisyaratkan agar tidak banyak bergerak dengan tepukan di lengannya. Dalam hitungan ketiga ia sudah naik diatas bahu si tikus sambil memegang salahsatu ujung jalinan sedotan.
"Permisi, ya," ia memasukkan ujung sedotan itu ke dalam cekungan di kepala Nona, "nah, coba kau hisap perlahan!" seru si kelinci sambil menunjuk pada ujung sedotan yang satunya, yang terkulai di dekat Nona.
"Bagaimana, enak kan?" tanya si kelinci.
Nona memutar kedua bola matanya. Ia tidak tahu bahwa isi kepalanya seenak ini. Iya tersenyum-senyum sendiri.
"Sisakan sedikit untukku!" seru si tikus. "Hei, kamu tidak minta bagianmu?" tanyanya ketika melihat si kelinci kembali ke lubangnya.
"Aku sedang diet, mencium wanginya saja sudah cukup. Besok datang lagi, ya, Nona!"
Nona mengangguk, tapi konsentrasinya sudah kembali pada buku di pangkuannya.
"Hei, minta dong!" protes si tikus lagi.Nona tidak menghiraukannya, ia hanya mengangguk-angguk sambil terus membaca, membuat isi kepalanya terlempar beberapa tetes.
Setiap kali si tikus berkata sesuatu, ia tidak benar-benar mendengarkan, hanya mengangguk-angguk saja mengiyakan. Maka si tikus terus berkata-kata -agar Nona terus mengangguk-angguk, sambil berlarian kesana-kemari, berusaha menangkap tetesan kopi yang jatuh dari kepala Nona.
Setelah seluruh buku resepnya habis terbaca, dan yang tersedot olehnya tinggal ampas kopi, Nona pamit pulang pada si kelinci. Ia menoleh mencari tikus, tapi si tikus sudah pulang duluan setelah berhasil memasukkan beberapa tetes kopi ke dalam botol kecilnya, teman-temannya arisannya sudah menunggu di rumah.
Nona berjanji kembali esok hari, karena si kelinci bilang akan membantunya menemukan tutup untuk kepalanya. Setengah berlari ia kembali ke desanya, tidak takut isi kepalanya tumpah karena memang sudah tandas diminum sendiri.
-----------------------------
proyek spontan gambar+cerita saya, hahaha...
keterangan dan cerita lebih singkat bisa dibaca di sini.
5 comments:
hahaaa,, lucu juga si pangpong!!
kreatif!!
Bagus! Bagus! Bravo!
bagus!!!!! i love it! baru tau aja, ternyata nona cingkir tu ada critanya. cuteness
luar biasa.
Wow! LOVE it!
Post a Comment