Boni mengucapkannya setengah berbisik, sambil menunjuk ke sebuah rumah paling pojok dari deretan rumah-rumah yang berhadapan dengan rumahku. Mulutku menganga lebar. Mungkin aku semestinya lebih mengatur ekspresiku agar tidak terlalu kentara, tetapi aku memang benar-benar terkejut – tidak menyangka sama sekali itu yang akan dikatakannya. Pupus sudah semua angan dan mimpiku. Tega nian si Boni ini, bikin aku berharap banyak selama ini lalu sekarang berkata bahwa dia jatuh cinta dengan Mbak yang tinggal rumah pojokan itu!
Saat itu Boni sedang main ke rumahku, kebiasaan baru yang makin sering dilakukannya akhir-akhir ini. Karena penasaran akan hobi barunya itulah aku kemudian menanyakan, dengan setengah menggoda tentu saja, mengapa ia jadi rajin berkunjung. Bukannya aku merasa terganggu dengan kehadirannya, tidak sama sekali. Aku suka pada Boni. Cowok itu sudah mencuri perhatianku sejak pertama kali aku melihatnya di lapangan sekolah. Ketika itu aku masuk ke dalam barisan yang salah saat mengikuti upacara sebagai siswa baru dan Boni yang melihatku panik memberitahu bahwa barisan yang kumasuki itu adalah barisan kelas I-E, kelasnya. Di hari-hari selanjutnya, wajah Boni yang sedang berkata ‘Oh, kamu salah barisan, ini kelas satu E!’ kerap memenuhi kepalaku. Tapi karena saat itu aku belum tahu namanya, aku menciptakan nama julukan untuknya.
“Si Tampan!” Kukira aku menyebutkannya dalam hati saja, tetapi melihat bahwa segerombolan cowok yang ada di hadapanku kemudian tertawa terbahak-bahak sepertinya suara hatiku terlampau keras. Boni yang sedang kutatap tampak berusaha menahan tawa.
“Terima kasih!” serunya dengan nada geli. Ya ampun malunya diriku!! Aku begitu kaget dan tidak menyangka akan berpapasan dengannya di depan kantin dan ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“Namaku Boni!” ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
“K-Kania!” disambut tepuk tangan dan sorak-sorai orang-orang di sekitar kami. Malu kuadrat – tapi senang bukan kepalang tentunya, bisa berkenalan dengannya. Apalagi setelah saat itu kami menjadi akrab. Bahkan, walau sebenarnya tidak – ehm, belum ada apa-apa diantara kami, teman-teman menganggap kami berpacaran. Dan keadaanya terus begitu hingga kini menjelang UAN di kelas tiga.
*
Aku berdiri di depan rumah nomor 17 dengan berbagai pikiran mengumpul memenuhi benakku. Ini rumah Mbak itu. Mbak yang ditaksir oleh Boni, yang kebetulan adalah cowok yang kutaksir. Jalanan lengang yang terang tersiram matahari siang tampak kontras dengan keadaan rumahnya yang seakan ditelan pepohonan yang tumbuh tak terkendali di halaman. Sepertinya dia belum sempat merapikan tanaman-tanaman itu sejak kepindahannya kemari. Aku dalam perjalanan ke rumah sepulang sekolah. Tidak biasanya dimana akhir-akhir ini Boni selalu menemani, kali ini aku jalan sendirian, mengemban misi dari Boni.
Cinta oh cinta. Terang-terangan kecewa karena perkataan Boni, aku sendiri heran mengapa masih kuiyakan ketika Boni memohon dengan amat sangat untukku mencari tahu tentang Mbak gebetannya itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang mbak itu, tidak namanya sekalipun. Dia baru beberapa bulan yang lalu pindah kemari dan tampaknya belum bersosialisasi dengan para tetangga – setidaknya begitu menurut pembantuku.
“Orang-orang di sini sudah mulai ngomongin tentang Mbak itu, Non! Jarang di rumah sih, kalau pulang seringnya malam atau subuh-subuh gitu!”
“Namanya siapa, Yem?”
“Nggak tahu tuh, orangnya nggak pernah keluar rumah untuk ngobrol-ngobrol sama tetangga!”
“Pembantunya?”
“Nggak ada. Dia tinggal sendiri.”
“Non-non!” Yem memanggil kembali ketika melihatku hendak pergi. Kunaikkan daguku, menanyakan ada apa.
“Dengar-dengar dia itu cewek nggak bener lho! Simpanannya Pak Bono yang tinggal di rumah nomor 34!” bisik Yem. Hmm, mulai deh.
“Halah!” aku ngeloyor pergi meninggalkan Yem yang masih berusaha memanggil-manggilku.
Aku sudah hampir melangkah pergi setelah putus asa memikirkan bagaimana cara aku bisa mencari informasi tentang wanita yang tinggal di rumah nomor 17 ini ketika tiba-tiba terdengar suara anjing kecil menyalak ribut. Kemudian senyap sesaat. Kemudian berganti dengan suara panik seorang wanita. Lalu kurasa ada sesuatu di kakiku. Ketika aku melihat ke bawah, sesuatu itu ternyata seekor anjing kecil dengan mulutnya yang ditancapkan ke bagian belakang sepatuku. Apakah maksudnya menggigit?
“Mocca, ayo lepas!” aku menoleh ke arah suara berasal yang ternyata adalah suara Mbak yang ditaksir Boni – atau bukan, pokoknya dia muncul dari rumah nomor 17. Ia berlari menghampiri pintu pagar, membukanya slotnya, mendorong pintunya begitu saja dan melesat ke arahku dengan wajah panik sambil terus memanggil anjingnya. Aku seperti melihat adegan lambat saja, walau nyatanya itu berlangsung begitu cepat. Begitu ia sudah berada tepat di hadapanku untuk beberapa saat kami sempat saling berpandangan. Cantik! Pantas saja Boni kleper-kleper melihatnya. Kami sama-sama melihat ke bawah, ke kaki kiriku. Anjing itu masih dalam posisi yang sama, masih mengaitkan giginya ke bagian belakang sepatuku, balik menatap kami – sesekali mengedipkan matanya. Seketika meledaklah tawa kami.
“Mocca, kamu nakal sekali!” diraihnya si anjing kecil yang langsung melepaskan gigitannya.
“berbekas ya? Aduh, maaf! Ya ampun, gimana kalo aku ganti sepatunya?” wanita itu kembali panik. Kulirik sesaat sepatuku – terlihat samar bekas gigi-gigi kecil di situ.
“Eh, nggak usah Mbak!” aku buru-buru menenangkannnya.
“Sakit ya waktu digigit?” tanyanya, masih kuatir.
“Nggak terasa!” aku tersenyum. Dan memang tidak terasa sama sekali. Ia tertawa, tampak lega.
Namanya Rosa. Usianya 23 tahun. Mengaku sebagai pengacara – pengangguran banyak acara, ia tinggal di rumah nomor 17 itu hanya bertemankan Mocca, anjingnya. Sempat kulihat tumpukan beberapa naskah cerita berserakan di sebuah meja yang tampaknya adalah meja kerjanya. Laptop, dua cangkir bekas kopi, MP3 player, beberapa gumpal kertas salah ketik, telepon genggam keluaran terbaru. Hmm, sebagai pengacara dia cukup berada. Ataukah benar dia simpanan orang, seperti kata Yem?
“Penulis?” tanyaku sambil mengangkat salahsatu naskahnya.
“Mungkin.” Dia nyengir. “Belum bisa dikatakan sebagai pekerjaan, baru sekedar hobi yang masih harus banyak diasah.”
“Kuliah?”
“Sudah lulus.”
“Fakultas Hukum?” kami tertawa berbarengan.
“Enggak, Ilmu Komunikasi.”
*
“Trus-trus?”
“Nabrak!” kudorong dahi Boni dengan gemas. Dia sedang menginterogasiku berkenaan dengan misi yang sedang kutangani saat ini, menyelidiki Mbak yang tinggal di rumah nomor 17. Mbak Rosa itu.
“Adu-uh, serius! Namanya Rosa, umur 23-“
“Iya, 23, nggak ketuaan tuh, Bon?” potongku dengan wajah penasaran.
“Ckk!” Boni berdecak, kesal perkataannya kupotong. “Lulus Ilkom, hobi nulis, anjingnya yang kecil lucu-“ lanjutnya, tidak mempedulikan wajahku yang tampak tidak terima.
“Bukan anjing tapi hiu!” potongku lagi.
“Iya, hiunya yang kecil lucu namanya Mocca.. Trus?” Boni mengulang informasi yang barusan kuberikan.
“Nabrak!” aku hendak mendorong dahinya lagi tapi Boni sudah lebih dulu menangkap tanganku. Seerrh – ada yang berdesir di dalam diriku.
“Niaaa! Yang bener dong!” suaranya membuatku agak gelagapan. Kuleletkan lidahku.
“Nia, please!!” didekapnya tanganku di dadanya. Omigot, help! Kania meleleh! Kania meleleh! Kutatap wajahnya yang penuh harap. Matanya manis sekali.
“Ya ampun Bonii! Aku memang cuma tahu itu aja, beneran!”
“Please..” dia masih memohon. Memohonlah pada pohon, Boni! Nggak percaya banget sih!
“Plis-plis cuplis?!” seruku kesal. Wajah Boni tampak kaget ketika aku menarik tanganku.
“Aduh, sori-sori! Iya deh, makasih infonya ya!” ucapnya buru-buru begitu sadar aku sudah mulai kesal. Aku jadi tidak enak.
“Gini deh, pulang sekolah kamu ikut ke rumahku aja, ntar aku kenalin sama Mbak Rosa!” Apa perkataan barusan benar-benar kuucapkan? Kalau melihat dari mata Boni yang kini berbinar-binar berlebihan sih sepertinya iya. Ah, sudahlah, toh aku sudah tahu Mbak Rosa, yang pasti Boni bukan seleranya. Siapa tahu setelah ini aku dan Boni malah jadi makin dekat.
*
Aku melangkahkan kakiku lebar-lebar, sibuk menggerutu sepanjang perjalanan kaki dari perhentian bus menuju rumahku. Wajar kurasa, mengingat matahari memang sedang terik-teriknya siang itu. Yang tidak wajar justru cowok disampingku yang tidak bisa tenang, sesekali melompat kegirangan sambil mendendangkan lagu cinta yang tidak jelas syairnya berulang-ulang di tengah suasana gerah dan penuh debu seperti ini. Kulirik Boni yang sedari tadi tersenyum-senyum.
Deretan rumahku sudah terlihat. Juga rumah Mbak Rosa yang tersamarkan oleh pohon-pohon yang kelewat rimbun itu. Tetapi tidak seperti biasanya, di sekitar rumahnya tampak ramai sekali. Ketika kulihat ada mobil polisi dan ambulans di sana, aku segera tahu ada yang tidak beres. Sesuatu menimpa Mbak Rosa! Kutarik lengan baju Boni dan bersamanya berlari menghampiri rumah no 17 itu.
Semakin dekat makin terlihat wajah-wajah tegang orang-orang yang ada di situ.
“Mbak Rosa!” seruku dengan kalut ketika kulihat dua orang petugas medis keluar dari dalam rumah, mendorong kereta dengan seseorang yang berbaring diam di atasnya.
Ketika kulongokkan kepala yang tampak adalah seorang lelaki berusia 40-an yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
“Bono Wiloto. Sindikat pembuat dan pengedar uang palsu.” Suara Mbak Rosa terdengar dari belakangku. Aku menoleh.
“Hai, Kania!” wanita itu berdiri di hadapanku – tersenyum lebar, diangkatnya lencana yang berada di tangan kanannya.
Masih sulit kupercaya Mbak Rosa ternyata seorang polisi yang sedang dalam penyamaran. Tidak kupedulikan Boni yang sedari sibuk menyikuti pinggangku. Mbak yang tinggal di rumah pojok ini ternyata – wow!
---o0(^o^)0o---
1 comment:
Kewl...
Nggak nyangka endingnya ha..ha..ha..
Post a Comment