ENOUGH!

Ow wowow, I’m so happy. Guess what?!

Sepucuk kertas berbentuk bujursangkar berwarna merah muda berpindah tempat dari hadapan Nadine ke atas buku tulis Fika.

What?

Fika mengembalikan kertas itu setelah menulisinya.

Cowo’ keren yang pakai polo-shirt hitam, yang aku ceritain beberapa hari yang lalu, aku dapat nomor teleponnya!! Namanya Andrew, keren ya?!

Kertas kembali lagi ke Fika, dan dibaca dengan hati-hati, takut ketahuan. Sekilas, diliriknya Nadine yang ternyata tengah penuh senyum.

Lumayan. Seneng dong kamu?! Oh.. pertanyaan bodoh.. Nad, plis deh, kalo senyum jangan lebar-lebar dong, dilihatin pak Bara tuh!

Senyum Nadine malah makin lebar ketika surat itu dioperkan kembali kepadanya.

Bodo’! Seneng banget nih! Aku sampai sudah hafal nomor teleponnya: 8413364

Nadine menghiasi sekeliling tulisan nomor telepon itu dengan gambar bunga-bunga, seperti suasana hatinya saat itu.

*

Sepanjang pelajaran Sejarah, isi pembicaraan Nadine melulu seputar Andrew, Andrew dan Andrew. Beberapa kali teguran dari Bu Sani tidak membuatnya jera, karena cerita tentang Andrew yang baru diteleponnya dua kali tapi seperti sudah kenal lama jauh lebih penting untuk diceritakannya pada Fika.

“Menurut kamu bagaimana?” entah sudah keberapa kalinya pertanyaan itu dilontarkan Nadine, yang kemudian dijawab Fika dengan helaan nafas panjang sebelum kemudian berkata pendek: “Bagus deh.”

“Apa-apa nggak sih kalau aku ngajak dia ketemuan?”

“Ya nggak ada salahnya lah…”

“Enaknya kemana ya?”

“Ya mau kemana lagi, paling-paling acara jalan-jalan standar: makan, nonton bioskop, gitu-gitu aja khan?!”

“Iya sih-” Diam sejenak tapi kemudian wajahnya tampak kembali cerah. “…oh, aku ajak dia lihat pameran desain grafis aja, siapa tahu dia suka! Iya ah, pulang sekolah nanti aku hubungi dia!” serunya bersemangat.

“Ngg, mending ke tempat lain aja deh, Nad…”

“Kenapa gitu?”

“Aku udah duluan ngajak dia lihat pameran itu.”

“Hah?” Nadine mengerutkan keningnya. Tapi kemudian dia tertawa sambil mendorong ringan bahu Fika. “Bisa aja kamu!”

“Beneran!” Fika tidak ikut tertawa. Nadine kemudian terdiam, menatap mata teman sebangkunya itu.

“Ini kita ngomongin Andrew-ku khan? Cowok yang pake polo-shirt hitam waktu itu dan ternyata kenal dengan kakakku?” ditekankannya kata Andrew-ku.

Fika mengangguk mengiyakan.

“Lho, kok.. kok kamu bisa kenal dia juga?”

“Ngg..” Fika setengah menahan nafas, “Waktu kita surat-suratan khan kamu pernah nulis nomor teleponnya…” ia menggantung ucapannya, menanti reaksi Nadine. Temannya itu menganggukkan kepalanya sekali, meminta Fika meneruskan ucapannya.

“Sorenya aku nelfon dia, ngajakin kenalan.”

Deghhhh!

Mata Nadine agak terbelalak, dahinya berkerut, ia berusaha mencerna kata-kata yang barusan didengarnya.

“Nggak apa-apa khan?” Fika memegang tangan Nadine dengan hati-hati setelah jengah melihatnya masih saja terdiam.

“Hmm? Ya nggak apa-apa sih, toh Andrew bukan siapa-siapaku.” Jawab Nadine, agak terkesiap ketika Fika menyentuh tangannya. Dikerjapkan matanya beberapa kali dengan cepat, masih setengah tidak percaya.

“Sori ya aku nggak bilang kamu dulu, waktu lagi ngatur buku tiba-tiba aku melihat kertas surat-suratan itu trus iseng aja pengen telpon. Ternyata anaknya asyik ya?!”

“I-iya, Andrew memang asyik anaknya.”

“Rencananya malam Minggu ini kita ketemuan di gedung kebudayaan Perancis, lihat pameran desain grafis disana.” Seru Fika gembira.

“Sejak kapan kamu tertarik sama pameran desain grafis? Waktu itu ngajakin kesitu kamunya nggak mau!” protes Nadine.

“Hihihi, iya sih. Habis, waktu ngobrol-ngobrol dia bilang tertarik sama desain grafis, aku jadi ingat kamu pernah bilang ada pameran desain grafis, ya udah, aku ajakin aja dia ketemuan disana. Eh ternyata dia langsung mau, semangat banget!” kata-kata itu mengalir ringan dari mulut Fika.

Nadine menatap temannya dengan beribu pikiran berkecamuk di kepalanya, tapi ujung-ujungnya bertanya dalam hati, “Kok bisa sih?”

*

“Segitunya sih, Nad!” nada suara Fika terdengar sangat kesal. Nadine yang sedang membereskan peralatan tulisnya menoleh dengan wajah bingung. Baru saja kertas ulangan Sejarah dikumpulkan setelah diadakan tes dadakan.

“Dari tadi aku nanya jawaban nomer tiga dan empat tapi kamu nggak mau kasih tahu, noleh pun enggak!”

“Aku juga nggak yakin sama jawabanku, Fi, nanti kalau aku kasih tahu dan ternyata salah khan ketahuan!”

“Ah, alasan! Kenapa sih? Gara-gara aku menelepon dan ngajak pergi Andrew? Iya? Masa gitu aja udah sewot? Toh aku cuma iseng dan kamu tahu itu! Lagian dia bukan siapa-siapanya kamu khan?!”

Mata Nadine melotot semakin besar seiring dengan kalimat demi kalimat yang dilontarkan Fika.

“Kok jadi bawa-bawa Andrew?! Udah aku bilang, aku nggak-“

“Udah deh, Nad! Nggak usah munafik! Kalau mau ambil aja deh! Norak banget ngeributin masalah sepele seperti ini!”

“Ambil aja?” Nadine jadi naik pitam, “Emangnya barang? Lagian, Andrew itu siapa, kok ditawar-tawarin kayak gitu?”

“Bukan siapa-siapaku sih…”

“Nah!” tepat saat itu bel istirahat berbunyi. Nadine langsung beranjak dari bangkunya dengan kesal dan pergi meninggalkan Fika yang masih memasang wajah masam.

*

Yang tadi, sori ya…

Damai?

Nadine membaca potongan kertas berwarna hijau pupus, surat dari Fika, dan menoleh ke teman sebangkunya itu. Fika sibuk menyalin catatan, melihat bergantian ke papan tulis dan buku catatannya. Nadine tersenyum geli. Ia tahu Fika hanya pura-pura sibuk. Ditulisinya kertas hijau pupus itu, kemudian dengan gerakan cepat menggesernya ke area meja Fika.

OK!

Fika menoleh setelah membacanya, mereka saling melempar senyum.

*

Bel pulang baru saja berbunyi.

“Aku ikut ke rumahmu aja deh, khan tugas kelompoknya dikumpulkan besok.” Fika berjalan agak cepat, berusaha menjajari Nadine yang tampak tergesa-gesa.

Nadine menoleh, “Oke. Tapi aku mau ke wartel sebentar.”

“Pak Sus nggak bisa jemput?”

“Enggak, bukan menelepon orang rumah kok…”

Berdua mereka menyeberang jalan, menuju wartel di depan sekolah.

Nadine cekatan memencet serentetan nomor yang segera tampak pada tampilan kotak penghitung durasi pulsa telepon.

“Siapa sih?” tanya Fika sambil berusaha menutup pintu, bilik untuk menelepon itu terasa sempit dimasuki mereka berdua.

“Ssshhh..” Nadine menaik-turunkan tangannya di udara, memberi tanda agar Fika tenang, padahal dia sendiri yang sebenarnya tak tenang.

“Kenapa nggak telpon dari rumah aja?”

“Males ah, nanti digangguin kalau ada yang denger, kayak waktu nelpon si Andrew… Ha-hallo? Bisa bicara dengan Erwin?” Nadine jadi gelagapan karena ternyata sudah tersambung. Kemudian Nadine menoleh pada Fika, nyengir.

“Bisa bicara dengan Erwin?” Fika menirukan kata-kata Nadine sebelum kemudian meringis kesakitan karena cubitan temannya itu.

*

Ketika pelajaran Bu Sani, mereka kembali main surat-suratan. Fika yang memulai dengan mengoperkan selembar kertas bujursangkar kepada Nadine.

Nad.. Sori ya..

Kenapa Fik?

Sori banget aku udah lancang lagi.

Lancang?

Iya. Kemarin aku telpon Erwin.

Hah? Erwin-ku?

Iya.

Kok tahu nomornya? Perasaan aku nggak pernah nulisin nomor Erwin sewaktu kita lagi surat-suratan deh..

Emang enggak pernah. Tapi waktu kamu telpon dia di wartel kemarin nomornya kelihatan.. Sampai di rumah aku masih hafal jadi ya iseng-iseng aku telepon dia. Sori... Beneran gak maksud apa-apa kok! Sori...

Kali itu Nadine memilih untuk tidak memaafkan Fika. Ia juga memutuskan untuk meminta ijin Bu Sani yang adalah wali kelas mereka untuk pindah tempat duduk, jauh dari Fika.

---o0(^o^)0o—


cerpen ini dimuat di majalah GoGirl! edisi ulangtahun Februari 2006

No comments: