Kami menjulukinya nenek sihir. Kuku tangan dan kakinya itu lho, selalu dilapisi kuteks warna hitam! Baju-bajunya jangan ditanya, dominan warna gelap. Harusnya itu semua memang memberi kesan gothic atau funky, tapi nyatanya ia terlihat seperti tukang sihir atau paranormal. Anaknya sebenarnya baik, sangat pendiam tapi bukan tipe yang menyebalkan. Namanya Margareth, biasa dipanggil Magie, tapi baik namanya Margareth maupun Magie jarang terdengar diucapkan orang. Bahkan para dosen pun sepertinya enggan memilihnya ketika mengajukan pertanyaan dan harus menunjuk salah seorang diantara kami untuk menjawabnya. Paling hanya waktu absen saja namanya disebut.
Entahlah, sesuatu tentang Magie mengandung nuansa horor, itu menurut sebagian besar anak-anak Arsitek yang seangkatan. Tidak termasuk aku, karena aku tidak ambil pusing mengurusi seorang cewek nyentrik seperti Magie, setidaknya sebelum kemudian aku mendengar kabar menghebohkan bahwa Nino naksir padanya!
Oke, aku bohong. Aku tidak mendengar kabar itu dari siapa-siapa karena sebenarnya akulah yang pertama menyebarkan cerita itu. Sebelum kemudian menghebohkan para penggosip di kampus kami (yang berarti hampir seisi kampus), aku hanya menyatakannya pada teman-teman dekatku saja. Siapa sangka (oke, aku bohong lagi, aku sudah menyangka kok) kalau teman-teman dekatku itu bermulut ember dan haus akan sensasi semacam itu.
Lepas dari itu semua, siapa sih yang tidak histeris ketika menyadari bahwa cowoknya terang-terangan melirik cewek lain? Nino itu milikku! Yah, hampir lah, karena kami sedang dalam taraf pedekate. Maksudku, sebagai cewek kedua paling populer di kampus, semua orang juga tahu bahwa Nino pastinya mendekatiku, Lisa, setelah putus dari Nadia, primadona kampus kami! Memang sudah begitu aturannya. Jadi wajar dong kalau aku nggak terima ketika mendapati dengan mata kepalaku sendiri akhir-akhir ini si Nino kerap –bukan lagi mencuri-curi pandang tapi terang-terangan memandangi that girl in black!
“Apanya sih yang dilihat Nino dari Magie?!” Virni mencomot siomay terakhir yang ada di meja kantin. Mata kami mengikuti langkah kaki Magie yang berjalan melintas beberapa meter di depan kami, berjalan tertunduk seperti biasa, dengan kostum serba hitamnya.
“Jangan-jangan Nino dipelet ya?” entah dari mana muncul ide seperti itu dibenakku, tapi herannya Virni dan Dea yang sedang bersamaku kompak mengiyakan.
“Mungkin banget!” Dea mengangguk-angguk penuh semangat. Matanya tak lepas dari sosok Magie yang kini sedang berdiri dekat papan pengumuman.
Tiba-tiba cewek itu menoleh ke arah kami, membuat kami belingsatan dan dengan bodohnya cepat-cepat membuang muka ke arah lain dengan gerakan sangat tidak wajar –kentara banget kalau tadinya ngelihatin dia. Ketika dengan perlahan aku menatapnya kembali, Magie sedang menatap balik padaku sebelum kemudian menoleh kembali ke papan pengumuman dengan cepat, membuat rambut panjangnya yang hitam keunguan itu terlempar menerpa wajahnya.
Aku terkesiap. Bukan karena rambut panjang keunguannya, tapi karena sejurus kemudian aku melihat Nino berjalan menghampiri cewek itu. Nino berdiri tepat di sebelah kanannya, sama-sama menatap ke papan pengumuman. Ada apa sih di papan pengumuman hari ini? Perasaan tidak ada yang spesial untuk dilihati sampai segitunya deh! Kesalku mulai muncul.
“Memangnya ada pengumuman penting apa sih hari ini?” aku menoleh penuh emosi kepada Virni dan Dea bergantian. Mereka mengangkat bahu hampir berbarengan.
“Lis, mau kemana?” panggil Virni begitu aku melesat ke arah papan pengumuman karena jawaban Virni dan Dea yang tidak memuaskan.
“Ya mau lihat pengumuman lah!” ujarku sambil lalu.
Magie dan Nino refleks menoleh ketika merasakan kehadiranku di belakang mereka. Pasti karena aroma segar parfum yang kupakai.
“Ada pengumuman apa?” aku menyeringai dengan kikuk dipandangi mereka berdua seperti itu.
Magie –seperti sudah kuduga- diam saja, tidak menjawab.
“Tugas dari Pak Arie. Besok dikumpulin.” Nino menunjuk sebuah kertas berwarna kecoklatan yang tertempel tepat di tengah papan pengumuman.
“What?!” seruku terkejut. Tugas dari Pak Arie selalu jadi mimpi buruk bagi kami dan parahnya dosen satu itu kerap mengumumkannya sangat mendadak, seperti kali ini. Aku berjinjit dan melompat-lompat kecil, berusaha melihat sendiri kertas pengumuman dari balik bahu dua sosok jangkung di hadapanku. Tinggi Magie hampir menyamai Nino –yang tentu saja jauh melampauiku, membuatku merasa seperti sebuah tong sampah diantara dua tiang listrik.
“Cuma ngelanjutin tugas yang minggu lalu kok…”
Aku menengadah dengan sedikit kaget ke arah Magie. Yang barusan itu adalah suaranya yang berat dan datar. Mata kami saling bertemu. Benar-benar datar cewek yang satu ini. Setelah memasukkan agenda (hitamnya) ke dalam tasnya (yang berwarna hitam juga tentunya) Magie pergi. Dan aku bisa melihat dari sudut mataku sedari tadi Nino tak lepas memandanginya.
“H-hai, Lisa!” sapanya setelah aku sengaja berdehem agak keras. Huuu, dimatamu hanya ada Magie, ya?! Menyebalkan!
*
Keep your friends close but your enemies closer.
Sebenarnya tidak ada masalah antara aku dan Magie, tapi sejak aku tahu Nino memperhatikan dan menaruh hati padanya, cewek itu otomatis masuk dalam daftar para sainganku. Terima kasih pada Pak Arie yang memberi tugas kelompok dan secara kebetulan menempatkanku satu tim dengan Magie, aku bisa ‘merangkul’ musuhku itu tanpa perlu susah payah memikirkan alasan yang terkesan dibuat-buat untuk memuluskan niatku.
Tugas kali ini adalah tugas akhir semester –tugas besar, secara tidak langsung nyawa kami dipertaruhkan disini. Jadi, demi suksesnya tugas ini kami memang harus banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Karenanya hanya dalam hitungan minggu aku dan Magie sudah seperti sobat karib saja. Dimana ada Lisa disitu ada Magie. Bahkan Virni dan Dea tidak pernah sesering ini bersamaku.
“Bo’, lo pake kuteks item?” suara Dea melengking memenuhi kelas. Aku melirik sekilas pada kuku tanganku. Ah iya, aku lupa menghapus kuteks hitam yang kemarin iseng kucoba ketika berada di rumah Magie. Dia punya berbotol-botol kuteks hitam –ada yang dengan gliter, ada yang warnanya bisa bernuansa lain bila tertimpa cahaya, pokoknya macam-macam deh.
“Yup. Kenapa? Keren khan?” celetukku asal.
“Keren? Biasanya sih gitu… But not this time. It’s so Magie!” Matanya menatap hina pada jari-jari tanganku. Tak dipedulikannya Magie yang sedang duduk di sebelahku dan pastinya mendengar semua perkataannya dengan jelas. Aku bahkan tidak berani menoleh pada Magie untuk melihat reaksinya.
Dea sudah kelewatan. Tapi bukan dia saja yang terang-terangan memprotes kedekatanku dengan Magie akhir-akhir ini. Alasan ‘demi tugas’ dari Pak Arie tampaknya tidak cukup kuat membendung keheranan anak-anak akan keakraban kami. Dan sejak kejadian di kelas dengan Dea itu, hubunganku dengan kedua teman dekatku yang ‘asli’ –Virni dan Dea, perlahan mulai merenggang hingga akhirnya bisa dikatakan kami bertiga hanya bertemu di kelas saja.
Aku bukannya sudah melupakan misiku semula. Memang, setelah bergaul lebih dekat dengan Magie, aku mendapati dirinya ternyata tidak seaneh anggapan orang-orang. Lumayan asyik malah! Tapi bagaimanapun Nino tidak boleh jadian dengan Magie karena cowok itu adalah jatahku. Jadi, disela-sela obrolan kami, kuselipkan cerita-cerita jelek tentang Nino hasil karanganku sendiri supaya Magie tidak tertarik padanya.
Entah usahaku itu berhasil atau memang Magie dari awal tidak tertarik pada Nino, yang pasti cewek itu begitu dingin dan acuh menanggapi Nino. Tapi ternyata aku belum bisa bernafas lega karena muncul masalah baru; Nino kelihatan makin menghindariku seiring kedekatanku dengan Magie dan setiap kali kami berjumpa, ia menatapku dengan tatapan aneh yang tidak kumengerti… Apakah ia mencium rencanaku memanas-manasi Magie? Kalau iya aku nggak heran dia menatapku sedemikian rupa!
Segala pertanyaanku itu akhirnya terjawab di suatu sore, ketika aku berpapasan dengan Nino di pelataran parkir kampus kami.
Aku menatap Nino dengan tatapan tak percaya dan sangat tersinggung. Cowok yang kuharapkan menjadi kekasihku itu baru saja menuduhku lesbi. Dia bilang dia tidak menyangka aku menyukai sesama jenis, padahal awalnya ia menaruh hati padaku! Dia bilang aku dan Magie sama-sama menjijikkan baginya…
Tentu saja aku tidak terima. Kami beradu mulut, kemudian aku mendorongnya dengan kesal dan Nino membalas. Kami saling mendorong beberapa kali sebelum kemudian diriku jatuh terjengkang oleh dorongan Nino. Harus kuakui sangatlah tidak gentle cara dia memperlakukan seorang cewek!
Kejadian selanjutnya berlangsung sangat cepat. Tiba-tiba sebuah tangan dengan kuku berkuteks hitam terulur membantuku berdiri. Tidak melihat wajahnya pun aku tahu bahwa itu tangan Magie. Ketika kemudian aku mengangkat wajah, aku melihat Nino tersungkur sambil memegangi perutnya yang bersimbah darah. Aku menoleh menatap Magie dengan panik.
“Aku sudah bilang sama dia jangan ganggu kamu, Lis! Itulah ganjarannya kalau berani nyakitin orang yang aku cintai. Tapi kamu nggak apa-apa khan, sayang?” tanya Magie sambil mengelus pipiku dengan lembut. Suara erangan Nino meneror kupingku.
“T-tapi, Nino bukannya suka sama kamu?!” aku balik bertanya dengan gemetar. Berada di pelukan Magie yang kokoh terasa begitu mengerikan, apalagi setelah mendengarnya mengucap kata sayang seperti itu.
“Nino? Suka sama aku?” Magie menengadah, tertawa.
“Aku seringkali mendapati dia memandangimu!” seruku lebih lanjut.
“Begitu ya?” Magie terkekeh. “Ya-ya.., pasti ia sering memandangku…”
Ah, aku harus belajar untuk memperhatikan ekspresi orang dengan lebih seksama! Tentu saja Nino sering memandangi Magie, tapi bukan karena suka melainkan beragam perasaan lainnya yang bertolak belakang dengan itu –aneh, bingung, jijik dan tidak habis pikir dan entah apa lagi. Kalau aku jadi Nino pasti juga akan menatap begitu pada Magie. Bagaimana tidak, cewek itu mendatanginya dan berkata “Jauhi Lisa, dia milikku!” begitu tahu Nino putus dari Nadia dan kemudian (pastinya) berusaha mendekatiku –gadis paling populer di kampus setelah Nadia. Magie menceritakan semua itu dengan wajah penuh kemenangan.
Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Tapi kemudian aku menangis. Kalah, malu, jijik, hina dan entah perasaan apalagi yang berkumpul di diriku kini…
Setelah sesaat memandangiku dengan tatapan yang membuatku ingin lari sejauh-jauhnya Magie kemudian berujar, “Oh, Lisa, sudah lama aku ingin melakukan ini…”
Aku pingsan setelah ia mengecup bibirku.
***
Cerpen ini dimuat di majalah Cerita Kita edisi April 2006.
4 comments:
poooooyy...
kasik tau dong caranya muat cerpen ke majalah kita... *wink wink* ^^
ma'acciihh...
gw suka cerita ini, bu...
@ coolz
majalah kita? cerita kita mksdnya? coba via link di sblh kanan blog-ku ini deh. disitu ada link ke blog mjlh cerita kita. kirimnya via email kok tapi gw lupa emailnya paan. disana ada kok ;)
@ dewi
thanks :)
oh my god...
disgusting...
dicium lesbian???
oh tidaaaakkk....
btw: anak DKV UKP kah?
Saya anak Sas-Ing UKP...
salam kenal dan mari bertukar link...
http://tyka82.blogspot.com/
http://ceritaria.blogspot.com/
Post a Comment