LOOKING AT YOU


Aku tidak tahu darimana dia datang, tiba-tiba sosoknya sudah ada di hadapanku. Dengan tatapan datar ia memandangiku. Bibirnya hampir membentuk senyuman, tapi bagiku terlihat seperti cengiran sinis, meremehkan.

“Hai!” sapaku dengan nada yang kuatur setenang mungkin.

Ia membalasnya dengan senyuman, kali ini benar-benar sebuah senyum yang menghiasi wajahnya, tapi gantian sorot matanya yang tampak sinis. Atau itu hanya perasaanku saja? Akhir-akhir ini aku memang terlalu lelah dengan semua pekerjaanku ini. Seringkali tidak tidur hingga beberapa hari, orang-orang di sekitar kerap meremehkan dengan berkomentar, “Hanya menggambar seperti itu apa susahnya sih? Kok sampai berhari-hari?”. Bagi mereka memang profesi sebagai desainer grafis tidak jauh dari menggambar saja. Dan aku rasa pria yang sedang berdiri di hadapanku ini termasuk dalam kelompok yang berpikiran seperti itu.

“Sendirian?” tanyanya tanpa mengalihkan sedetik pun pandangannya dariku.

Setidaknya berkediplah, kau membuatku seolah mengkerut!

“Iya, Bram tidak bisa datang.” Aku menyebutkan nama partner kerjaku. Sebenarnya tidak begitu, aku dan Bram memang jarang datang berdua, kami berbagi tugas ketika menemui klien. Tapi pria ini bukanlah calon klien kami, dia kenalan Bram yang sedang berkunjung ke kota ini dan kebetulan menginap di hotel yang letaknya dekat dengan kedai kopi tempat aku menemui salah seorang klien. Adri namanya, kemarin Bram sempat mengenalkannya padaku.

Mungkin si Adri ini sedang berjalan-jalan di sekitar hotel ketika ia melihat dan kemudian menghampiriku, entahlah, ketika aku menyalami Pak Vincent, mengakhiri pertemuan kami, tahu-tahu ia sudah berdiri tepat di belakang klienku itu.

“Duduk, Dri!” aku mempersilakan sambil menunjuk kursi kosong di hadapanku.

Lagi-lagi ia membalas dengan senyuman, untungnya kali ini tatapannya tidak sedatar tadi.

Job baru?”

“Iya, bikin company profile.” Aku menutup laptopku dan memasukkan kembali barang-barang yang berserakan di meja ke dalam tas kerjaku dengan gerakan cepat. Sejenak kuhentikan aktifitasku ketika sadar ia sedang memperhatikan. Pasti disangkanya aku ingin buru-buru pergi. Memang sih, tetapi tidak mungkin meninggalkan dia begitu saja, apalagi setelah aku dengan bodohnya menawarinya untuk duduk.

“Berantakan banget!” aku tersenyum canggung, memamerkan sederetan gigiku.

Ia mengangguk, sesaat tampak menahan senyum.

Kemudian sebuah panggilan telepon menyelamatkanku. Percetakan menelepon memintaku untuk datang, memeriksa hasil proof print salahsatu brosur pesananku. Maka, setelah meminta maaf dan berpamitan aku bergegas pergi.

*

“Eh, Bram, tadi gua ketemu si Adri!” seruku pada Bram yang kebetulan menelepon. Aku sedang dalam perjalanan ke percetakan.

“Oya? Sekarang dia dimana?”

“Masih di Mud River kali, habisnya aku kudu buru-buru cabut ke percetakan, nge-cek proof print brosur..”

“Internusa? Fiuh, akhirnya naik cetak juga!”

“Yup. Dirimu sudah dihubungi sama Pak Thomas kah?” Bram tidak menjawab.

“Bram? Hoi, pulsa mahal, Pak!”

“Ssshhhhh!” dia malah menyuruhku diam. Terdengar volume tivi dibesarkan hingga sedikit bergema. Monyet.

“Von, tadi lu bilang si Adri dimana?” tanyanya dengan suara ditahan.

“Heh? Adri? Di Mud River, tempat tadi gua ketemu klien. Kenapa?”

“Masuk tivi nih, kena bom!”

“Hah?”

*

Kami –aku dan Bram, berjalan secepat mungkin sepanjang lorong hotel Asia Palace, lantai sembilan. Sebelumnya kami janjian bertemu di rumah sakit Sehat Indonesia, tempat para korban bom dirujuk tetapi kemudian Adri menelepon ketika kami baru saja, dalam waktu yang hampir bersamaan, sampai di pelataran parkir rumah sakit.

“Adri!” tiba-tiba Bram mengangkat tangannya dan melambai sambil terus berlari.

Aku yang berlari agak dibelakangnya celingukan berusaha melihat ke depan dari balik punggung Bram. Sosok Adri mulai kelihatan sekilas-sekilas, berdiri di depan pintu kamarnya, tersenyum.

“Nggak papa, Dri?” nafas Bram ngos-ngosan, ia membungkukkan badan dan berpegangan pada kedua lututnya. Hahaha.. orang satu ini memang lebih parah dari aku dalam urusan malas berolahraga.

Aku dapat melihat Adri dengan jelas kini, ia juga sedang menatapku.

“Nggak papa.” Jawabnya singkat.

“Ada yang luka?” Bram kembali menegakkan punggungnya.

“Nggak. Cuma harga diriku aja.” Adri memiringkan kepalanya seolah tak ingin aku menghilang dari area pandangnya. Tatapannya itu… Oke, Adri, kamu sukses bikin jantungku deg-deg-plas tidak karuan dengan caramu menatapku!

“Kamu tadi menjatuhkan ini.” Adri menyodorkan sebuah bolpoin berwarna merah muda. Milikku.

“Ya elah, masih sempat-sempatnya lu-“ Bram mendorong bahu Adri.

“Gara-gara bolpoin ini jatuh aku tadi mengejar Voni, setelah gagal berusaha memanggilnya berkali-kali…“

“Emang budeg sih dia, telinganya sombong!” sela Bram lagi, menyindirku.

“…dan aku sudah berlari sampai ke parkiran ketika bom meledak. Tapi Voni-nya sudah keburu pergi.”

Kami bertiga diam, teringat akan musibah bom barusan. Adri masih terus menatapku, sedangkan Bram, aku bisa melihat dari sudut mataku bahwa dia melemparkan pandangan bergantian ke arah kami berdua, kebingungan.

Thanks to that pink ballpoint then!” ujar Bram memecah keheningan diantara kami. Adri menoleh padanya sesaat sebelum kembali menatapku lagi. Kini aku sudah mulai terbiasa oleh ‘hobi’-nya itu, bahkan merasa sedikit tersanjung. Dan harus kuakui; kedua matanya itu, bagaimana ia menatapku, mulai mencuri perhatianku.

Thanks to Voni!

“Karena jatuhin bolpen atau karena budeg dipanggil-panggil nggak denger?” celetuk Bram. Kami bertiga tertawa.

*

Aku menoleh, menyapukan pandangan ke sekelilingku. Barusan aku merasa seolah ada seseorang di sekitarku, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa, tidak Pak Vincent ataupun… Adri.

Akhir-akhir ini aku sering merasa ada orang yang sedang mengawasiku ketika aku sedang sendirian; di kafe, di jalan, di perempatan lampu merah, bahkan di kamarku sendiri. Perasaan itu begitu nyata, tetapi ketika aku menoleh memang tidak ada siapa-siapa. Dan entah mengapa aku sering beranggapan bahwa yang mengawasiku adalah Adri. Lucu memang mengapa aku bisa berasumsi begitu padahal dia sudah balik ke London.

Adri sempat mengajakku makan malam tetapi saat itu aku sedang dikejar deadline menyelesaikan alternatif desain company profile, job yang kudapat setelah bertemu klien di Mud River tepat sebelum ada ledakan bom disana. Aku benar-benar sibuk saat itu, untuk sekedar menonton tivi sesaat saja hampir tidak sempat, maka aku terpaksa menolak ajakannya. Mana Bram sedang pergi ke Singapura pula; berusaha melobi sebuah perusahaan biro perjalanan khusus anak muda yang hendak mendesain ulang logo dan corporate identity-nya sekalian melihat pameran desain grafis disana, jadi semua pekerjaan disini harus kuambil alih.

Saat ini aku sedang menunggu kedatangan Pak Vincent untuk menunjukkan tiga alternatif desain company profile yang sudah selesai kubuat. Tumpukan koran tidak jauh dari tempatku duduk menjadi sasaran kebosanan menunggu klienku itu. Banyak hari yang ternyata kulewatkan karena pekerjaan kali ini. Selasa, 16 November, tulisan pada sebuah koran yang sedang kupegang. Hmm… hampir dua minggu yang lalu, tapi sepertinya belum pernah baca…

“Bu Voni?” suara Pak Vincent yang sedang melambai-lambaikan tangannya di hadapanku membuat aku agak terkesiap. Tampaknya ia sudah muncul agak tadi.

“Wah, sedang baca apa, Bu? Kok sampai tegang begitu?”

“Oh, enggak, hanya koran lama.” Aku buru-buru meletakkan koran yang kupegang.

Beberapa menit setelah selesai menemui Pak Vincent, telepon genggamku berbunyi. Telepon dari Adri, ia mengajak bertemu.

*

“Senang sekali akhirnya bisa melihatmu lagi!” ada nada kerinduan pada ucapan Adri.

“Benarkah?” tanyaku menggoda. Tapi aku tahu dia tidak sedang berbasa-basi, air mukanya menunjukkan benar kebahagiaan itu dan ia tampaknya sama sekali tidak berusaha menyembunyikannya. Aku tersenyum geli.

“Kok kamu nyantai aja waktu aku ajak ketemuan?” Adri menatapku heran. “Memangnya kenapa?” aku menoleh ke sekeliling kami, lobi hotel Asian Palace ini begitu temaram, aku sedikit mengantuk karenanya.

“Nggak pa-pa sih, tapi khan kamu tahunya aku sudah balik ke London...”

“Enggak kok, aku tahu kamu masih disini.”

“Oh ya?” kedua bola matanya bergerak-gerak penuh selidik. Aku suka melihatnya penasaran seperti itu. Kuseruput Mocca Latté pesananku yang dari tadi belum tersentuh sebelum membuka mulut, menjawab rasa penasaran Adri.

“Yah, awalnya hanya perasaanku saja sih, tapi tadi siang aku mendapati bahwa perasaanku ternyata tidak salah… dan aku juga baru tahu bahwa…” Aku merogoh tas kerjaku kemudian melempar perlahan koran yang tadi kubawa dari tempatku menunggu Pak Vincent ke atas meja, “…ledakan di Mud River dua minggu lalu terjadi di parkirannya.” Kusandarkan punggungku dengan sangat tenang.

Kami kembali diam, saling bertatapan.

***

cerpen ini dimuat di majalah Chic edisi no. XXX-2006.

1 comment:

Anonymous said...

wah gak nyangka bisa ketemu blog penulisnya. pernah baca cerpen ini di Chic, like it :)